Kemaritiman Indonesia
MAKALAH
Pengantar Ilmu dan Teknologi Kemaritiman
Sejarah Maritim
dan Masyarakat Pesisir
Di Susun
Oleh:
Muhardi
Nim:140120201006
Jurusan Teknik Elektro
Fakultas Teknik
Universitas Maritim Raja Ali Haji
Puji
syukur kita panjatkan kepada kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat
dan hidayahnya penulis mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Makalah dengan judul “Sejarah
Maritim dan
Masyarakat pesisir di Indonesia” disusun dengan maksud untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar ilmu
dan Teknologi Maritim serta memberikan pengetahuan baru bagi penulis dan pembaca
mengenai masyarakat Pesisir dan sejarah maritim serta sikap negara akan pengembangan
maritim yang luas ini.
Pada
kesempatan ini kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman yang telah
membantu pada pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat membawa manfaat
khususnya bagi saya dan orang lain yang telah membaca makalah kami.
Kami
menyadari bahwa makalah ini kami susun masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dengan tujuan
agar makalah ini selanjutnya akan lebih baik. Semoga bermanfaat.
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL
...............................................................................................................1
KATA PENGANTAR...............................................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................
A. Latar Belakang..................................................................................................................
B. Rumusan masalah............................................................................................................
C. Tujuan penulisan.............................................................................................................
D. Metode
Penulisan.............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................
1.Pengertian..............................................................................................................................
·
Maritim.........................................................................................................................
·
Kemaritiman.................................................................................................................
·
Laut..............................................................................................................................
·
Lautan..........................................................................................................................
·
Kelautan.......................................................................................................................
·
Coastal.........................................................................................................................
·
Kepulauan...................................................................................................................
·
Nusantara....................................................................................................................
2.Sejarah Maritim
di Indonesia.............................................................................................
·
Zaman Pra-kolonial....................................................................................................
·
Zaman colonial..........................................................................................................
·
Zaman Proklamasi.....................................................................................................
·
Zaman orde lama.......................................................................................................
·
Zaman orde baru.......................................................................................................
·
Zaman
reformasi-sekarang........................................................................................
3.Paradigma
Pembangunan SDM Dengan konsep kenudayaan Maritim............................
4.Masyarakat Pesisir.............................................................................................................
·
Social budaya masyarakat pesisir............................................................................
·
Karakteristik masyarakat pesisir..............................................................................
·
Penyebab kemiskinan masyarakat pesisir dan berikan solusi
yang real untuk mengatasi hal tersebut.............................................................................................
BAB III PENUTUP............................................................................................................
Kesimpulan.........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang dua
pertiga wilayahnya terdiriatas lautan dan kaya akan sumberdaya alam laut. Kita
sering melihat atau mendengaristilah kelautan dan kemaritiman. Ada yang
menganggap bahwa istilah kemaritiman dan kelautan mempunyai arti yang sama,
tetapi sementara ada pendapat bahwa pengertian kelautan mempunyai arti yang lebih
luas daripada pengertian kemaritiman, sehingga masyarakat masih banyak yang
belum memahami tentang kelautan dan kemaritiman itusendiri.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1 Apa
itu Kemaritiman?
1.2.2 Apa itu
Maritim?
1.2.3 Apa itu
laut?
1.2.4 Apa itu
lautan?
1.2.5 Apa itu
kelautan?
1.2.6 Apa itu
coastal?
1.2.7 Apa itu
kepulauan?
1.2.8 Apa itu
nusantara?
1.2.9 Bagaimana sejarah kemaritiman
Indonesia?
a.
Zaman Pra-kolonial
b.
Zaman colonial
c.
Zaman Proklamasi
d.
Zaman orde lama
e.
Zaman orde baru
f.
Zaman reformasi-sekarang
1.2.10 Bagaimana Paradigma
pembangunan SDM dengan konsep kebudayaan maritime?
1.2.11 Bagaimana Masyarakat pesisir?
1.3 Tujuan penulisan
Tujuan penulisan dalam tulisan ini
adalah :
1.3.1 Untuk
memenuhi dan melengkapi tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu dan Teknologi
Maritim
1.3.2 Untuk
memberikan informasi kepada mahasiswa mengenai materi tentang kemaritiman
1.3.3 Untuk
mengetahui dan memahami tentang kehidupan dan permasalahan yang ada di
masyarakat pesisir.
1.4 Manfaat penulisan
Manfaat penulisan dalam tulisan ini
adalah :
1.4.1 Agar
mahasiswa mengenal dan memahami tentang kemaritiman
1.4.2 Agar wawasan
mahasiswa tentang kemaritiman bertambah
1.5 Metode
penulisan
Untuk mempermudah dan membantu kelancaran penulisan yang
dilaksanakan, maka penulis menggunakan metode kepustakaan, yakni:
1.5.1
Penulis
mencari sumber untuk tulisannya melalui situs-situs internet
BAB II
ISI
2.1 Maritim
Istilah
maritim berasal dari bahasa Inggris yaitu
maritime,yang berarti navigasi,maritim atau bahari. Dari kata ini kemudian lahir istilah
maritime power yaitu negara maritim atau negara samudera. Pemahaman maritim merupakan segala aktivitas pelayaran dan perniagaan/perdagangan yang berhubungan dengan kelautan atau disebut pelayaran niaga, sehingga dapat disimpulkan bahwa maritim adalahTerminologi Kelautan dan Maritim Terminologi Kelautan dan Maritim Terminologi Kelautan dan Maritim Terminologi Kelautan dan Maritim Terminologi Kelautan dan Maritim.
maritime,yang berarti navigasi,maritim atau bahari. Dari kata ini kemudian lahir istilah
maritime power yaitu negara maritim atau negara samudera. Pemahaman maritim merupakan segala aktivitas pelayaran dan perniagaan/perdagangan yang berhubungan dengan kelautan atau disebut pelayaran niaga, sehingga dapat disimpulkan bahwa maritim adalahTerminologi Kelautan dan Maritim Terminologi Kelautan dan Maritim Terminologi Kelautan dan Maritim Terminologi Kelautan dan Maritim Terminologi Kelautan dan Maritim.
2.2 Pengertian
kemaritiman
Berkenaan dengan laut, yang berhubungan dengan pelayaran perdagangan laut.Pengertian kemaritiman yang selama ini diketahui oleh masya-rakat umum adalah menunjukkan kegiatan di laut yang berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan,sehingga kegiatan di laut yang menyangkut eksplorasi, eksploitasi atau penangkapan ikan bukan merupakan kemaritiman. Dalam arti lain kemaritiman berarti sempit ruang lingkupnya, karena berkenaan dengan pelayaran dan perdagangan laut.Sedangkan pengertian lain dari kemaritiman yang berdasarkan pada termonologi adalah mencakup ruang/wilayah permukaan laut, pelagik dan meso pelagik yang merupakan daerah subur di mana pada daerah ini terdapat kegiatan seperti pariwisata, lalulintas, pelayaran dan jasa-jasa kelautan.
Berkenaan dengan laut, yang berhubungan dengan pelayaran perdagangan laut.Pengertian kemaritiman yang selama ini diketahui oleh masya-rakat umum adalah menunjukkan kegiatan di laut yang berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan,sehingga kegiatan di laut yang menyangkut eksplorasi, eksploitasi atau penangkapan ikan bukan merupakan kemaritiman. Dalam arti lain kemaritiman berarti sempit ruang lingkupnya, karena berkenaan dengan pelayaran dan perdagangan laut.Sedangkan pengertian lain dari kemaritiman yang berdasarkan pada termonologi adalah mencakup ruang/wilayah permukaan laut, pelagik dan meso pelagik yang merupakan daerah subur di mana pada daerah ini terdapat kegiatan seperti pariwisata, lalulintas, pelayaran dan jasa-jasa kelautan.
2.3 Laut
Laut adalah kumpulan air asin yang luas dan berhubungan
dengan samudra. Laut adalah
kumpulan air asin yang sangat banyak dan luas di permukaan bumi yang memisahkan
atau menghubungkan suatu benua dengan benua lainnya dan suatu pulau dengan
pulau lainnya.
2.4 Lautan
Wilayah Lautan adalah wilayah atau daerah yang
berbentuk lautan. Lautan merupakan wilayah suatu Negara yang disebut laut
teritorial, sedangkan lautan di luar teritorial disebut lautan terbuka.
a. Res nullis, yaitu koperasi yang menyatakan laut dapat diambil dan dimiliki oleh setiap Negara. Konsep ini dikemukakan oleh John Sholdon (1584-1654) dari Inggris dalam bukunya Mare Clausum The Right and Dominion of the Sea.
b. Res communis yaitu konsepsi yang beranggapan bahwa laut adalah milik masyarakat dunia, sehingga tidak dapat diambil atau dimiliki oleh setiap Negara. Konsep ini dikembangkan oleh Hugo de Groot dari Belanda (1608) dalam bukunya Mare Libereum (Laut Bebas).
Pada 10 Desember 1982, PBB (UN CLOS) menyelenggarakan konferensi Hukum Laut Internasional III di Jamaika.
Konferensi tersebut menetapkan bahwa wilayah laut terdiri atas hal-hal berikut:
a. Laut teritorial yaitu wilayah yang menjadi hak kedaulatan penuh suatu Negara di laut. Lebarnya adalah 12 mil diukur dari pulau terluar kepulauan suatu Negara pada saat air laut surut.
b. Zona bersebelahan, yaitu wilayah laut yang lebarnya 12 mil dari laut teritorial suatu Negara. Jadi apabila Negara sudah memiliki wilayah laut territorial sejauh 12 mil, maka wilayah lautnya menjadi 24 mil diukur dari pantai.
c. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yaitu wilayah laut suatu Negara yang lebarnya 200 mil ke laut bebas. Di zona ini, Negara pantai berhak menggali dan mengolah segala kekayaan alam untuk kegiatan ekonomi eksklusif Negara tersebut. Di dalam zona tersebut, Negara pantai berhak menangkap nelayan asing yang ditemukan sedang menangkap ikan.
d. Landas Kontingen, yaitu daratan di bawah permukaan laut di luar laut teritorial dengan kedalaman 200 meter atau lebih.
e. Landasan benua, yaitu wilayah laut suatu Negara yang lebarnya lebih dari 200 mil laut. Di tempat ini, Negara boleh mengelola kekayaan dengan kewajiban membagi keuntungan dengan masyarakat internasional.
a. Res nullis, yaitu koperasi yang menyatakan laut dapat diambil dan dimiliki oleh setiap Negara. Konsep ini dikemukakan oleh John Sholdon (1584-1654) dari Inggris dalam bukunya Mare Clausum The Right and Dominion of the Sea.
b. Res communis yaitu konsepsi yang beranggapan bahwa laut adalah milik masyarakat dunia, sehingga tidak dapat diambil atau dimiliki oleh setiap Negara. Konsep ini dikembangkan oleh Hugo de Groot dari Belanda (1608) dalam bukunya Mare Libereum (Laut Bebas).
Pada 10 Desember 1982, PBB (UN CLOS) menyelenggarakan konferensi Hukum Laut Internasional III di Jamaika.
Konferensi tersebut menetapkan bahwa wilayah laut terdiri atas hal-hal berikut:
a. Laut teritorial yaitu wilayah yang menjadi hak kedaulatan penuh suatu Negara di laut. Lebarnya adalah 12 mil diukur dari pulau terluar kepulauan suatu Negara pada saat air laut surut.
b. Zona bersebelahan, yaitu wilayah laut yang lebarnya 12 mil dari laut teritorial suatu Negara. Jadi apabila Negara sudah memiliki wilayah laut territorial sejauh 12 mil, maka wilayah lautnya menjadi 24 mil diukur dari pantai.
c. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yaitu wilayah laut suatu Negara yang lebarnya 200 mil ke laut bebas. Di zona ini, Negara pantai berhak menggali dan mengolah segala kekayaan alam untuk kegiatan ekonomi eksklusif Negara tersebut. Di dalam zona tersebut, Negara pantai berhak menangkap nelayan asing yang ditemukan sedang menangkap ikan.
d. Landas Kontingen, yaitu daratan di bawah permukaan laut di luar laut teritorial dengan kedalaman 200 meter atau lebih.
e. Landasan benua, yaitu wilayah laut suatu Negara yang lebarnya lebih dari 200 mil laut. Di tempat ini, Negara boleh mengelola kekayaan dengan kewajiban membagi keuntungan dengan masyarakat internasional.
2.5 Kelautan
Merupakan sesuatu yang berhubungan dengan laut atau perihal yang berhubungan dengan laut.
Merupakan sesuatu yang berhubungan dengan laut atau perihal yang berhubungan dengan laut.
2.6 Coastal
Adalah daerah dengan
lebar bervariasi yang meliputi shore dan perluasannya sampai pada daerah
pengaruh penetrasi laut, seperti tebing pantai, estuaria, laguna, dune dan
rawa-rawa. berhubungan antara daratan atau wilayah pertemuan antara daratan dan
lautan.
2.7 Kepulauan
Dalam (bahasa Inggris: “archipelagic
State) adalah hasil keputusan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum
Laut
yang berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu gugus besar atau
lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain, dalam Bab IV Konvensi ini
menentukan pula bahwa gugusan kepulauan berarti suatu gugusan pulau-pulau
termasuk bagian pulau, perairan di antara gugusan pulau-pulau tersebut dan
lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya
sehingga gugusan pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya tersebut
merupakan suatu kesatuan geografi dan politik yang hakiki, atau secara historis
telah dianggap sebagai satu kesatuan dengan demikian wilayah sebuah Negara
Kepulauan dapat menarik garis dasar/pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan
titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan ini.
2.8 Nusantara
Nusantara
merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai Papua,
yang sekarang sebagian besar merupakan wilayah negara Indonesia. Kata ini tercatat pertama kali
dalam literatur berbahasa Jawa Pertengahan (abad
ke-12 hingga ke-16) untuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit. Setelah sempat terlupakan, pada
awal abad ke-20 istilah ini dihidupkan kembali oleh Ki Hajar Dewantara sebagai salah satu
nama alternatif untuk negara merdeka pelanjut Hindia Belanda yang belum terwujud. Ketika
penggunaan nama "Indonesia" (berarti Kepulauan Hindia)
disetujui untuk dipakai untuk ide itu, kata Nusantara tetap dipakai sebagai
sinonim untuk kepulauan Indonesia. Pengertian ini sampai sekarang dipakai di
Indonesia. Akibat perkembangan politik selanjutnya, istilah ini kemudian
dipakai pula untuk menggambarkan kesatuan geografi-antropologi kepulauan yang terletak di
antara benua Asia
dan Australia, termasuk Semenanjung Malaya namun biasanya tidak
mencakup Filipina. Dalam pengertian terakhir ini,
Nusantara merupakan padanan bagi Kepulauan Melayu (Malay Archipelago),
suatu istilah yang populer pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, terutama
dalam literatur berbahasa Inggris.
2.9 Sejarah Maritim Indonesia
a.Masa
Kolonial Hindia Belanda
Perdagangan di Asia sudah berawal di masa Portugis dan VOC,
bahkan telah ada berabad-abad sebelumnya, baik perdagangan melalui darat (jalan
sutra) maupun melalui laut Dalam masa modern awal itu terjadi interaksi
dagang antara para penguasa dan para penjajanya di Nusantara dan
organisasi-organisasi dagang besar dari Eropa seperti Estado da India dan
East India Company EIC) dari Inggris serta VOC dari Belanda. Banyak
bangsa-bangsa yang memasuki Indonesia seperti Portugis, Inggris dan Belanda
motivasi bangsa Eropa ke wilayah Nusantara disebabkan oleh faktor seperti
Jatuhnya Konstatinopel ke tangan Turki Ottoman yang merupakan pusat
rempa-rempah dengan itu mereka mencari sumber rempah-rempah terbaru, lali
semangat 3G (Gold, Glory, Gospel), dan perkembangan teknologi dan sistem angin
seiring berjalannya waktu Belanda berhasil berkuasa tunggal di Indonesia
dengan itu VOC pun berkuasa di nusantara.
Seiring berjalannya waktu karena terus merugi VOC tidak
sanggup membayar dividen dari saham yang dibeli rakyat. Oleh sebab itu, dari
tahun ke tahun perusahaan itu harus berutang kepada negara untuk membayar
kewajibannya. Namun tahun 1795 negara mengambil alih seluruh kekayaan VOC
sebagai pelunasan utang-utang tersebut. Tahun 1799 VOC dinyatakan failite dan
bubar. Harta kekayaan VOC yang tidak bergerak seperti benteng-benteng atau
daerah-daerah produksi rempah di Nusantaar, diambil alih oleh negara. Itulah
asset kerajaan Belanda yang menjadi cikal bakal dari negara lolonial Hindia
Belanda yang berdiri sejak tahun 1817. Wilayah yang
dimiliki oleh Belanda kurang strategis karena wilayah daratannya kecil dan
wilayahnya daratnnya lebih rendah daripada laut maka merekapun bekerja keras
dan menjadi cikal bakal semangat kerja dan tuntunan hidup bagi bangsa Belanda
khususnya para Pelaut Belanda itu sendiri untuk mengembangkan jiwa bahari
karena lewat laut mereka dapat mengembangkan perekonomian negeri mereka sebagai
contoh dari semangat kerja mereka yaitu Bangsa Belanda pandai membuat
Kapal-kapal Laut yang kokoh dan kuat dalam menjelajahi perairan laut maupun
samudera tidak ketinggalan para pelautnya yang sangat tangguh di lautan.
Membahas kegiatan kemaritiman pada masa Kolonial Hindia
Belanda menjadi sangat menarik, dikarenakan pada masa ini Belanda melakukan
berbagai kebijakan agar keutungan pihak Kolonial Hindia Belanda pada masa itu
tetap, bahkan bertambah.
KEGIATAN PELAYARAN
Perkembangan
armada dagang di Hindia Belanda jelas akan mempengaruhi peningkatan aktivitas
pelayaran antarpulau. Hal ini juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah
colonial yang protektif terhadap pelayaran domestic. Hal ini mengakibatkan
armada Belanda mendominasi kegiatan pelayaran domestik, tahun 1879 kapal-kapal
Nederland dan Hindia Belanda merupakan 95% dari seluruh armada pelayaran antarpulau
di Hindia Belanda, dan hanya 28,5% untuk pelayaran internasional. Dalam hal ini
KPM merupakan tulang punggung pelayaran antarpulau di Hindia Belanda, dan
memasuki abad XX pelayaran antarpulau meningkat rata-rata 7,6% angka ini lebih
tinggi daripada yang dicapai pada perempatan ketiga abad XIX yang hanya
mencapai 5,5% menjelang perang dunia I angka tersebut menjadi 2,4% dikarenakan
dengan stagnasi dalam perdagangan luar negeri sebagai akibat perang. Seperti
diketahui penggunan kapal uap dan motor di perairan Indonesia lebih awal jika
dibandingkan dengan negara kepulauan lain di Asia. Hingga tahun 1860-an
komunikasi secara regular antarpulau menggunakan kapal layar, penggunaan kapal
uap untuk kepentingan komersial baru sejak 1868, sedangkan Hindia Belanda sejak
1842. Penggunaan kapal uap lebih meningkat pesat dalam pelayaran antarpulau
daripada pelayaran Internasioanl hal imi menunjukkan bahwa pentingnya pelayaran
antarpulau Bagi Hindia Belanda, bukan hanya kepentingan Ekonomi juga
mengamankan koloni dari merembesnya kekuatan asing serta dari perlawanan
masyarakat setempat, disamping itu juga untuk menggapai integrasi negara
colonial dibawah bendera Pax Neerlandica .
Pemerintah Kolonial lebih berhasil melakukan proteksi terhadap pelayaran
antarpulau daripada pelayaran internasional di Hindia Belanda hal ini
berhubungan dengan tuntutan Inggris kepada Belanda untuk melakukan liberalisasi
pelayaran di koloninya, namun yang dilakukan Belanda liberalisasi lebih mengacu
kepada pelayaran internasional seperti pembukaan pelabuhan internasional dan
pelabuhan bebas serta penghapusan tarif differensial hal ini telah memungkinkan
berkembangnya pelayaran Internasional di perairan nusantara.
Belanda pun menguasai daerah Pantai Barat Sumatera, akan tetapi wilayah
kekuasaan yang seharusnya dari kawasan Singkel hingga Indrapura, namun
realitanya Belanda hanya menguasai wilayah kota Padang dan wilayah yang berada
di selatannya. Disamping itu Sibolga, Natal, Air Bangis masih menjadi kekuasaan
Belanda. Bajak laut hamper ditemukan diseluruh perairan Indonesia. Namun
kawasan laut yang paling terkenal daerah operasi bajak laut adalah Selat
Malaka, Laut Cina Selatan dan kawasan laut Sulawesi. Kawasan ini (terutama
Selat Malaka) memang merupakan rute perdagangan dan pelayaran yang tersibuk di
Asia Tenggara, kegiatan bajak laut di Pantai barat Sumatera tidak begitu banyak
yang beroperasi didaerah ini, untuk menanggulangi aktivitas bajak laut,
Pemerintah Hindia Belanda mendirikan berbagai pos pengamanan di beberapa kota
pantai serta berkali-kali mengirim ekspedisi militer ke kawasan utara, pada
1860-an tidak ditemukan lagi laporan mengenai bajak laut .
Wilayah pantai Barat Sumatera menjadi penting bagi Kolonial Hindia Belanda,
dikarena di wilayah ini lah Kolonial Hindia Belanda memfokuskan kegiatan
maritimnya dikawasan ini, sebab dikawasan pantai timur Sumatera atau wilayah
dekat Selat Malaka terdapat pusat perdagangan dunia yang berada diwilayah
Tumasik (Singapura) dan itu merupakan wilayah bagian dari Inggris yang menjadi
penguasa didaerah tersebut, dan wilayah pantai barat juga merupakan tempat
komoditi utama pada masa itu dan pemerintah Belanda pun berfokus kepada
aktivitas perkebunan di wilayah Sumatera tersebut.
Aktivitas Pelayaran di wilayah Makassar dipengaruhi karena Angin Muson
baratlaut yang biasa digunakan untuk pelayaran perdagangan, dimanfaatkan oleh
para pedagang wilayah barat seperti Malaka, Riau, Johor, dan Batavia, untuk
berlayar kearah timur ke Kota Makassar dan kepulauan Maluku. Pelayaran ke
kepulauan Maluku dari kota Makassar dapat dibagi menjadi dua jalur, yaitu :
pertama dengan menyusur ke Selatan kemudian belok kiri melayari pesisir hingga
Buton dan selanjutnya berlayar ke Maluku. Kedua menyusuri Selat Makassar
berlayar kea rah timur memasuki pelabuhan Manado dan terus ke pulau Ternate;
bila perlu berlayar ke selatan hingga mencapai pulau Seram atau Papua. Angin
Muson Utara dan Tenggara memungkinkan terciptanya jalur pelayaran Utara-Selatan
(Amoy dan Kanton-Makassar-Kepulauan Indonesia bagian Timur) .
Wilayah Sulawesi menjadi istimewa dikarenakan menjadi pusat perniagaan
dikarenakan beberapa faktor pertama : letaknya strategis (berada
ditengah-tengah dunia perdagangan). Kedua munculnya intervensi bangsa Eropa sehingga
sehingga pedagang di pusat niaga mengalihkan kegiatan mereka ke tempat lain,
salah satunya ke Makassar. Ketiga pedagang dan pelaut setempat melakukan
pelayaran niaga ke daerah-daerah penghasil dan Bandar niaga lain .
KEGIATAN PERDAGANGAN MARITIM
Kegiatan perdagangan Maritim pada masa ini terjadi monopoli cengkeh di Ambon.
Cengkeh dan Pala di Indonesia Timur sama kedudukannya dengan Lada di Indonesia
Barat yang tumbuh di Sumatera, Malaka, dan Jawa Barat dan terjadilah monopoli
Lada yang Suamatera bagian Utara dikuasai Aceh, dan Sumatera bagian Selatan
dikuasai Banten. Perdagangan daerah Makassar ditandai dengan melemahnya
monopoli dan berkembangnya perdagangan bebas dan menjadikan Makassar sebagai
Bandar niaga Internasional dan pelabuhan transit terpenting di kepulauan Hindia
Belanda dibagian timur dipertengahan abad 19. Belanda dan Inggris bersaing
ketat dalam penjualan komoditi Teh dan berniat menguasai perdagangan Cina, akan
tetapi Belanda lebih menguntungkan karena wilayah koloninya banyak menghasilkan
yang diperlukan Cina mereka pun melakukan perjanjian tetapi Belanda ingkar
janji dan Inggris mencari pelabuhan yang aman untuk pelayaran ke Cina dan tahun
1819 Inggris pun mendapatkan Singapura . Di wilayah Pantai Barat Sumatera pada
sekitar abad ke-19 NHM membuat tiga kegiatan utama yaitu Perbankan,
Perdagangan, dan Perkebunan hanyalah Perkebunan yang berhasil dikarena kegiatan
Perbankan memghasilkan kredit macet dan kegiatan Perdagangan yang tidak
memberikan untung, hanyalah Perkebunan dalam hal ini perkebunan Kopi yang
menguntungkan lalu kopi-kopi itu akhirnya di ekspor ke Belanda dan termasuk
sebagai perdagangan maritime.
PERKEMBANGAN KERAJAAN-KERAJAAN
Tipe raja laut mewakili kekuatan Bahari yang sah yakni yang diakui dalam dalam
pergaulan antarbangsa. Dalam realitas abad XIX dan sebelumnya keabsahan
demikian lebih banyak ditentukan oleh kekuatan fisik, jadi dalam hal kekuatan
laut berarti pemilikan armada tempur dan pertahanan yang memadai. Di wilayah
laut Sulawesi diantara kekuatan laut yang muncul hanya kerajaan Sulu dan
Maguidanao yang berhasil menjadi kekuatan maritime terbesar. Tetapi sejak
pertengahan abad XIX Maguidanao terpecah belah dan mulai dikuasai Spanyol
sehingga akhirnya hanya Sulu yang dapat bertahan sebagai Raja laut pribumi
dikawasan ini. Raja-raja di pantai timur Kalimantan dan dibagian utara Sulawesi
tidak berhasil mengembangkan suatu armada yang besar. Begitu pula di Kepulauan
Sangihe-Talaud, walaupun penduduknya berkebudayaan maritim, fragmentasi dalam
satuan-satuan kecil tidak bisa menampilkan suatu kekuatan laut yang
berjangkauan regional. Sebagaimana telah diketengahkan di depan, dalam hal ini
Raja Laut harus bekerjasama dengan orang laut untuk membina kekuatan bahari.
Umumnya kerajaan-kerajaan ini mempunyai penduduk yang terbatas sehingga tidak
sanggup membentuk kekuatan laut yang besar. Kekurangan penduduk di Sulu dan
lembah sungai Pulangi di Mindanao Selatan dapat diatasi dengan mengadakan
ekspedisi lintas laut yang mendatangkan ratusan bahkan ribuan budak sebagai
sumber tenaga kerja. Dengan kata lain Raja laut, bekerjasama dengan Bajak laut
untuk menjamin adanya suplai tenaga kerja yang tetap .
PERKEMBANGAN KEMASYARAKATAN
(SOSIAL)
Pengawasan laut yang teliti sekali untuk melindungi monopoli kompeni tak
mungkin dapat masyarakat lakukan karena adanya tempat berjaga Hindia Belanda
yang berjumlah beribu-ribu didaerah yang amat luas ini perdagangan gelap tetap
berlangsung terutama di bagian Indonesia Barat. Monopoli kompeni memang terasa
pengaruhnya diseluruh Indonesia, tetapi terutama menekan daerah Maluku,
dirugikannya perdagangan laut Indonesia menyebabkan timbulnya kembali para
perompak perlu diketahui bahwa zaman dahulu perompak tidak termasuk kejahatan,
pada masa itu dibeberapa bagian dunia perompakan termasuk institusi sosial yang
diakui pusat perompak yang paling terkenal ialah Tibelo (Pantai Utara
Halmahera). Dalam perjalanannya mereka banyak membunuh dan menawan orang untuk
dijadikan budak. Biasanya raja dan kaum bangsawan turut serta dalam pelajaran
perompakan ini, malahan merekalah yang seringkali memegang pucuk pimpinan.
b. Era Proklamasi,Orde lama dan
Orde baru
Menyadari
betapa pentingnya bidang maritim untuk memperkuat integrasi nasional,
pemerintah berusaha untuk mewujudkan kesatuan wilayah secara utuh. Pada tahun
1957, pemerintah mengeluarkan Deklarasi Djuanda dengan menawarkan konsep Negara
Kepulauan (Archipelagic State) dengan batas laut teritorial sejauh 12 mil.
Meskipun tuntutan ini ditolak oleh PBB(Perserikatan Bangsa-Bangsa), pemerintah
Indonesia terus berupaya di berbagai forum internasional. Pada tahun 1982, International
Conference on Sea Law yang diselenggarakaan di Caracas meratifikasi konsep
Indonesia mengenai Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) inilah wilayah teritorial
Indonesia menjadi utuh, baik meliputi wilayah darat maupun laut. Dengan
deklarasi ini wilayah teritorial Indonesia membentang dari barat ke timur
sejauh 6.400 km dan dari utara ke selatan 2.500 km. Garis pantai terluar yang
melingkari wilayaah teritorial Indonesia memiliki panjang sekitar 81,000km dan
kawasan laut ini terdiri dari 80%. Dengan prestasi untuk mencapai
kesatuan wilayah ini diharapkan bahwa integrasi nasional sebagai negara maritim
akan dapat segera dicapai.
Upaya
Indonesia untuk kembali membangkitkan kejayaan Indonesia sebagai negara
kepulauan melalui tiga pilar utama yakni Sumpah Pemuda 28 Oktober, Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Deklarasi Djoeanda 1957 tidak mudah untuk
dilakukan. Di masa pemerintahan Sukarno, Indonesia telah mendeklarasikan
Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara memandang wilayah laut merupakan satu
keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang ada di
bawahnya, serta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya yang tidak bisa
dipisah-pisahkan. Di era Pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia berupaya
memperoleh pengakuan internasional tentang Negara Nusantara, yang kemudian
berhasil mendapat pengakuan internasional dalam forum konvensi PBB tentang
Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS 82) serta berlaku efektif sebagai hukum
internasional positif sejak 16 November 1984. Di masa Pemerintahan B.J Habibie
kembali Indonesia mendeklarasikan visi pembangunan kelautan dalam ‘Deklarasi
Bunaken”. Inti deklarasi tersebut adalah pemahaman bahwa laut merupakan
peluang, tantangan dan harapan untuk masa depan persatuan bangsa Indonesia.
Dilanjutkan oleh Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid melalui komitmen
Pembangunan Kelautan dengan dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan dan
dikembangkannya Dewan Maritim Indonesia yang kemudian menjadi Dewan Kelautan
Indonesia.
c.Era Reformasi
Di
era Reformasi saat ini, dalam PJPN 2005-2025 Pemerintah telah membuat kebijakan
untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat
dan berbasis kepentingan nasional. Diantaranya dengan kembali memantapkan
budaya bahari dalam RPJMN 2004-2009.
Namun
telah tumbuh kerancuan identitas, sebab meski mempunyai persepsi kewilayahan
maritim namun kultur yang kemudian terbangun adalah sebagai bangsa agraris.
Paradigma masyarakat Indonesia tentang laut cenderung berbeda dengan realitas,
sehingga arah kebijakan pembangunan selanjutnya menjadi kurang tepat karena
lebih condong ke pembangunan berbasis daratan, sektor kelautan menjadi sektor
pinggiran.
Menurut
Mahan, ada enam syarat sebuah negara menjadi negara maritim yaitu: lokasi
geografis, karakteristik dari tanah dan pantai, luas wilayah, jumlah penduduk,
karakter penduduk, dan pemerintahan. Dari keenam unsur inilah seharusnya
karakter penduduk dan pemerintahan yang masih perlu ditingkatkan sifat
kemartimannya melalui sosialisasi sejarah dan nilai-nilai budaya bahari kepada
segenap lapisan masyrakat dan sikap pemerintah yang mampu memanfaatkan laut dan
unsur-unsur maritim guna kemakmuran dan kejayaan bangsa Indonesia sendiri.
Unsur-unsur kekuatan maritim antara lain terdiri dari transportasi, pemanfaatan
sumber hayati dan nabati laut, pertambangan dasar laut, pemanfaatan energi
laut, wisata, unsur pengamanan laut, dan sebagainya.
Wacana
pentingnya membangun negara maritim juga pernah muncul di tengah-tengah krisis
moneter yang terjadi pada akhir tahun 1997, yang segera dibarengi oleh
krisis-krisis di bidang yang lainnya seperti krisis politik, krisis sosial
budaya dan sebagainya. Rupanya dengan adanya bencana yang timbul ini
menyadarkan para pembuat kebijakan sadar bahwa dengan mengeksplorasi kekayaan
alam darat saja menimbulkan beban ekonomi yang sangat besar dan membebani
bangsa. Di tengah-tengah krisis ini muncul suatu inisiatif untuk membangun
Indonesia baru sebagai negara bahari yang memaksimalkan laut sebagai potensinya
untuk dasar kehidupan bangsa Indonesia. Pendayagunaan laut dan potensinya akan
menjadi tindakan eksploratif belaka tanpa adanya landasan pemahaman budaya
bahari. Negara bahari tidak akan terbentuk tanpa landasan budaya bahari. Dalam
hubungan inilaah sejarah bahari atau sejarah maritim menjadi bagian yang utama
dalam menumbuhkan budaya bahari untuk selanjutnya menjadi landasan bagi
terbangunnya negara bahari.
Pengembangan
negara maritim. Gagasan Negara Maritim Indonesia sebagai aktualisasi wawasan
nusantara untuk memberi gerak pada pola pikir, pola sikap dan pola tindak
bangsa Indonesia secara bulat dalam aktualisasi wawasan nusantara. Pengembangan
konsepsi negara maritim indonesia sejalan dengan upaya peningkatan kemampuan
bangsa kita menjadi bangsa yang modern dan mandiri dalam tekhnologi kelautan
dan kedirgantaraan bagi kesejahteraan bangsa dan negara. Bumi maritim Indonesia
adalah bagian dari sistem yang merupakan satu-kesatuan alami antara darat dan
laut di atasnya tertata secara rapi dan unik menampilkan ciri-ciri negara dengan
karakteristik sendiri yang menjadi wilayah yuridksi Negara Republik Indonesia.
Pengembangan
negara maritim Indonesia berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 karena dalam
prikehidupan kebangsaan Indonesia Pancasila pada hakekatnya disusun secara
serasi dan seimbang untuk mewadahi seluruh aspirasi bangsa Indonesia. Landasan
konsepsionalnya adalah wawasan nusantara dan ketahanan nasonal. Dengan wawasan
nusantara bangsa Indonesia memandang wilayah nusantara sebagai satu kesatuan
politik, ekonomi, social budaya dan keamanan. Pada hakekatnya negara
maritim Indonesia merupakan pengembangan dari konsepsi ketahahan
nasional, maka konsepsi negara maritim Indonesia perlu dijadikan pedoman
dan rangsangan serta dorongan bagi bangsa kita dan upaya pemanfaatan dan pendayagunaan
secara terpadu, terintegrasi dan berkelanjutan.
2.10 Paradigma pembangunan SDM dengan konsep kebudayaan
maritim
Bung
Karno dalam pidatonya pada saat peresmian Institut Angkatan Laut Tahun 1953
yang saat ini bernama Akademi TNI Angkatan Laut, pernah mengatakan untuk
kembali menjadi bangsa pelaut dalam arti yang seluas-luasnya. Menurutnya
menjadi bangsa pelaut bukan menjadi jongos-jongos kapal tetapi
menghidupi laut itu sendiri. Tampaknya benar apa yang telah dikatakan oleh founding
father kita tentang laut. Dengan laut akan mempunyai kepentingan besar
terhadap ekonomi, politik, kebudayaan, kemakmuran dan pengaruh luar negeri
suatu bangsa dan apabila diarahkan berpusat ke laut barangkali kita akan
menjadi negara besar yang kuat.
Wilayah negara Indonesia ketika merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah
wilayah negara yang daerahnya merupakan peninggalan Hindia Belanda. Menurut Territoriale
Zeeen Maritieme Kringen Ordonantie 1939, maka batas laut teritorial
Indonesia adalah 3 mil laut dari pantai. Dengan demikian maka perairan antar
pulau pada waktu itu adalah wilayah internasional. Wilayah laut kita dengan
hukum laut hanyalah seluas kira-kira 100.000 km2. Pada tanggal 13 Desember 1957
Pemerintah RI melalui Deklarasi Djuanda memberikan sebuah pernyataan jati diri
sebagai negara kepulauan, di mana laut menjadi penghubung antar pulau, bukan
pemisah. Penegasan ini bersamaan dengan upaya memperpanjang batas laut
teritorial menjadi 12 mil dari pantai, kemudian diperjuangkan oleh Indonesia untuk
mendapat pengakuan internasional di PBB. Kendati prinsip negara kepulauan
mendapat prokontra, tetapi pada tahun 1982 lahirlah Konvensi kedua PBB tentang
Hukum Laut (2nd United Nations Convention on the Law of the Sea,
disingkat UNCLOS) yang mengakui konsep negara kepulauan termasuk mengakui
konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Setelah diratifikasi oleh 60 negara maka
UNCLOS kemudian resmi berlaku pada tahun 1994.Indonesia mendapat pengakuan
dunia atas tambahan wilayah nasional sebesar 3,1 juta km2 wilayah perairan dari
hanya 100.000 km2 warisan Hindia Belanda, ditambah dengan 2,7 juta km2 Zone
Ekonomi Eksklusif yaitu bagian perairan internasional dimana Indonesia
mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk yang ada
di dasar laut dan di bawahnya.
Indonesia sampai saat ini merupakan
kawasan kepulauan atau archipelago state terbesar di dunia yang
terdiri dari 17.508 pulau besar dan kecil. Termasuk dalam kawasan kepulauan ini
adalah beberapa pulau besar seperti Sumatera, Jawa. Sekitar tiga perempat
Borneo, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan pulau kecil lain di sekitarnya. Separuh
bagian dari barat pulau Papua dan dihuni oleh ratusan suku bangsa. Garis terluar yang mengelilingi wilayah
Indonesia adalah sepanjang kurang lebih 81.000 km dan sekitar 80 persen dari
kawasan ini adalah laut. Kata archipelago
sering diterjemahkan sebagai “kepulauan” yaitu berupa kumpulan pulau yang
dipisahkan oleh permukaan air laut. Sesungguhnya ada perbedaan pengertian
yang fundamental antara kepulauan dan archipelago. Kepulauan diartikan
sebagai kumpulan pulau sedangkan istilah archipelago berasal dari bahasa
latin “archipelagus” yang berasal dari kata archi yang berarti
utama dan pelagus yang berarti laut, sehingga memiliki arti “laut
utama”. Istilah ini mengacu pada Laut Tengah pada masa Romawi. Oleh sebab itu
makna asli dari kata archipelago sebenarnya bukan merupakan “kumpulan
pulau”, tetapi laut dimana terdapat sekumpulan pulau. Konsep archipelagic state yang
dikembangkan Indonesia mengacu kepada makna negara kepulauan “harus diganti
dengan konsep negara maritim”, yaitu negara laut yang memiliki banyak pulau.
Sebagai negara maritim atau negara maritim, Indonesia tidak hanya memiliki satu
“laut utama” atau heartsea, setidaknya ada tiga laut utama yang
membentuk Indonesia sebagai sea system yaitu Laut Jawa, Laut Flores dan
Laut Banda. Hall mengatakan ada lima zone komersial di Asia Tenggara pada abad
XIV dan awal abad XV. Pertama, zona Teluk Benggala yang mencangkup India
Selatan, Sailan, Birma dan pantai utara Sumatera. Kedua, kawasan Malaka.
Ketiga, kawasan Laut Cina Selatan yang mencangkup pantai timur semenanjung
Malaysia, Thailand dan Vietnam Selatan. Keempat, kawasan Sulu yang mencangkup
daerah Pantai Barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao dan pantai utara Kalimantan.
Kelima, kawasan Laut Jawa. Kawasan laut Jawa ini terbentuk karena perdagangan
rempah-rempah, kayu gaharu, beras antara barat dan timur yang melibatkan
Kalimantan Selatan, Jawa, Sulawesi, Sumatra dan Nusa Tenggara. Oleh karena itu kawasan Laut Jawa
terintegrasi oleh jaringan pelayaran dan perdagangan sebelum datangnya bangsa
barat. Menurut Houben, Laut Jawa bukan hanya sebagai laut utama bagi Indonesia,
tetapi juga merupakan laut bagi Asia Tenggara. Laut Jawa menjadi jembatan yang
menghubungkan berbagai komunitas yang berada disekitarnya baik dalam kegiatan
budaya, politik maupun ekonomi.
Kebijakan Terkait Pembangunan
Bervisi Maritim
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan bahwa negara
melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara juga mengakui Perjanjian
Internasional PBB tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yaitu “…cita-cita
manusia merdeka yang bebas dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat dicapai
bila tersedia kondisi yang memungkinkan setiap orang dapat menikmati hak-hak
ekonomi, sosial dan budayanya.Namun kondisi yang ada belum mencerminkan
kesejahteraan bagi bangsa Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut, menurut laporan BPS pada tahun 1996, jumlah
penduduk miskin terdapat 22,5 juta orang. Pada tahun 1998 bertambah menjadi
79,5 juta orang dimana 56,8 juta jiwa berada di pedesaan baik di wilayah
pesisir atau pedesaan. Sementara itu pada tahun 2008, BPS mengeluarkan data
penduduk miskin di Indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47 persen
diantaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Pada
tahun 2010 angka kemiskinan BPS mencapai 35 juta orang atau 13,33 persen dari
jumlah penduduk yang mencapai sekitar 237 juta jiwa. Selanjutnya data dari DKP
menyebutkan bahwa sekitar 32 persen dari 16,42 juta jiwa masyarakat pesisir di
Indonesia masih berada dalam garis kemiskinan. Menurut Data DKP tahun 2001,
jumlah seluruh KK nelayan pada tahun 1998 adalah 4 juta orang dengan pendapatan
kotor per KK per tahun adalah Rp.4.750.000 atau dengan kata lain pendapatan
kotornya adalah Rp. 395.383 per bulan atau Rp.30.499 per hari. Pada tahun 2007,
rata-rata pendapatan kotor nelayan perbulan mengalami peningkatan menjadi
Rp.445.000 per bulan. Rendahnya pendapatan yang diterima nelayan setiap
bulannya tidak bisa membuat nelayan untuk berfikir mengenai pendidikan,
kesehatan dan kebutuhan pangan. Minimnya keperpihakan pemerintah kepada nelayan
juga menjadi salah satu faktor masih tingginya tingkat kemiskinan di nelayan.
Regulasi hukum yang mengatur belum ada, hal ini terbukti dengan belum
disahkannya RUU Kelautan disamping itu pula Nilai Tukar Nelayan (NTN) dari
tahun 2000-2011 tidak banyak berubah berkisar antara 100-110 yang artinya
nelayan belum berada pada posisi sejahtera. Sedangkan masalah lainnya adalah
belum maksimalnya sinergi antara swasta dan pemerintah dalam pemberdayaan
masyarakat pesisir dan nelayan termasuk pelibatan aktif nelayan.
Disatu sisi, kekayaan laut Indonesia
diperkirakan menyimpan potensi kekayaan alam yang dapat dieksploitasi senilai
156 miliar dollar AS pertahun atau sekitar Rp. 1.456 triliun. Berdasarkan
ketentuan IMO, luas laut territorial yang dilaksanakan sejak Deklarasi Djuanda
1957 sampai dengan Unclos 1982 mempunyai sumberdaya kelautan yang melimpah dan
akan menjadi sumber devisa yang luar biasa jika dikelola dengan baik. Namun
kebijakan pemerintah yang hingga saat ini masih berorientasinya pada land
based development menyebabkan belum maksimalnya pembangunan maritim kita.
Dengan minimnya perhatian pada sektor maritim ini menyebabkan kontribusi sektor
kelautan terhadap PDB nasional tergolong masih rendah. Pada tahun 1998, sektor
kelautan hanya menyumbang 20,06 persen terhadap PDB dimana sekitar 49,78 persen
sektor pertambangan minyak dan gas bumi sebagai penyumbang terbesar PDB. Hal
ini menunjukkan bahwa sektor laut masih tidak optimal pemanfaatannya. Salah
satu faktor pendukungnya adalah 1. kebijakan yang belum berorientasi pada
sektor maritim; 2. rendahnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang
berkaitan dengan maritim; 3. rendahnya peralatan teknologi (misal:
kapal).
Ketentuan Unclos 1982 dalam hal ini
seharusnya kita optimalkan sebagai negara kepulauan yang mempunyai peluang
besar. Lemahnya perhatian dan keberpihakan pemerintah di sektor laut akan
menimbulkan beberapa kerugian bagi kesatuan NKRI itu sendiri, seperti contoh
kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002 dengan alasan “ineffective
occupation” atau wilayah yang ditelantarkan. Posisi strategis Indonesia
setidaknya memberikan manfaat setidaknya dalam tiga aspek, yaitu alur laut
kepulauan bagi pelayaran internasional (innocent passage, transit
passage, dan archipelagic sea lane passage). Minimnya keberpihakan
kepada sektor maritim (maritime policy) salah satunya menyebabkan masih
tidak beraturnya penataan maritim yang sejatinya dapat menjadi sumber devisa.
Hal lainnya adalah pelabuhan dalam negeri belum dapat dikatakan menjadi
pelabuhan berskala international, penamaan dan pengembangan pulau-pulau kecil.
Praktek illegal fishing juga masih marak terjadi di perairan Indonesia.
Adapun salah satu penyebabnya adalah masih sedikitnya kapal ikan. Indonesia
diperkirakan membutuhkan sekitar 22.000 kapal ikan dengan kapasitas
masing-masing diatas 100 ton. Estimasi ini mungkin terlihat besar namun ini
termasuk estimasi minimal. Sebagai perbandingan, Thailand memiliki 30.000 kapal
ikan yang resmi dan sekitar 20.000 yang tidak resmi.
Pembangunan nasional mempunyai
tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia secara menyeluruh dan
merata. Seiring dengan tujuan tersebut maka kemampuan pertahanan dan keamanan
harus senantiasa ditingkatkan agar dapat melindungi dan mengamankan hasil pembangunan
yang telah dicapai. Pemanfaatan potensi sumber daya nasional secara berlebihan
dan tak terkendali dapat merusak atau mempercepat berkurangnya sumber daya.
Pesatnya perkembangan teknologi dan tuntutan penyediaan kebutuhan sumber daya
yang semakin besar mengakibatkan laut menjadi sangat penting bagi pembangunan
nasional. Oleh karena itu, perubahan orientasi pembangunan nasional Indonesia
ke arah pendekatan maritim merupakan suatu hal yang sangat penting dan
mendesak. Wilayah laut harus dapat dikelola secara profesional dan proporsional
serta senantiasa diarahkan pada kepentingan asasi bangsa Indonesia di laut.
Beberapa fungsi laut seharusnya dapat menjadi pertimbangan pemerintah dalam
menetapkan kebijakan-kebijakan berbasis maritim adalah laut sebagai media
sebagai negara kepulauan, media pemersatu bangsa, media perhubungan, media
sumberdaya, media pertahanan dan keamanan serta media untuk membangun pengaruh
ke seluruh dunia.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam
hal ini Kemetrian Kelautan dan Perikanan sejatinya telah memiliki rencana
strategis yang tertuang dalam Pembangunan Kelautan dan Perikanan 2010-2014.
Dengan mempunyai visi menjadikan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan
dan perikanan terbesar tahun 2015. Sedangkan misi yang diemban adalah
mensejahterahkan masyarakat. Grand strateginya adalah memperkuat kelembagaan
dan SDM secara terintegrasi; mengelola sumber daya kelautan dan perikanan
secara berkelanjutan kemudian meningkatkan produktivitas dan daya saing
berbasis pengetahuan. Selanjutnya, memperluas akses pasar domestik dan
internasional. Hal itu sesuai dengan revolusi biru yaitu perubahan mendasar
cara berfikir dari daratan ke maritim dengan konsep pembangunan yang
berkelanjutan untuk peningkatan produksi kelautan dan perikanan melalui program
nasional yang efektif, efisien dan terintegrasi guna peningkatan pendapatan
rakyat yang adil, merata dan pantas.
Otonomi daerah yang terjadi semenjak
orde reformasi sejatinya memberikan keluasaan bagi masing-masing pemerintah
daerah untuk mengatur wilayahnya sendiri termasuk dengan kebijakan mengatur
laut. Di Indonesia terdapat tujuh provinsi yang secara geografis wilayahnya
dominan di laut, diantaranya adalah Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara,
Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Nusa
Tenggara Barat, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Kepulauan Riau. Beberapa
kebijakan yang dikeluarkan oleh beberapa provinsi tersebut berpihak pada
maritim. Salah satunya adalah yang terjadi di Provinsi Maluku dimana kondisi
geografis Maluku sebesar 92,3 persen adalah lautan dan hanya 7,7 persen saja
yang berupa daratan. Terdapat beberapa pengembangan ekonomi maritim yang
dilakukan oleh Provinsi Maluku, diantaranya adalah 1. membangun ekonomi maritim
yang potensial, yakni transportasi dan perhubungan laut, pelabuhan dan industri
perkapalan, perikanan tangkap dan budi daya, wisata maritim, energi dan sumber
daya mineral di laut; 2. membangun sumber daya maritim yang andal, berwawasan
dan memiliki nilai-nilai budaya maritim yang terbuka (inklusif), egaliter
(demokrasi), dinamis, kosmopolitan (tak terbatas pada egoisme teritorial yang
sempit), serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan 3. membuat tata
ruang maritim yang jelas dan akurat untuk memudahkan pengelolaan dan
terciptanya kekuatan ekonomi maritim; serta yang keempat adalah membangun
sistem hukum maritim yang jelas maupun penegakan kedaulatan secara nyata di
laut.
Beberapa daerah diketahui memiliki
kearifan lokal yang terjaga secara turun temurun dalam hal pengelolaan laut
yang lebih dikenal hak ulayat laut. Dalam hal ini pemerintah pusat
bersama pemerintah daerah dan masyarakat dapat berkoordinasi dengan baik
sehingga tetap kearifan lokal tersebut dapat member kehidupan yang lebih baik
di masyarakat setempat. Salah satu contoh praktik hak ulayat laut adalah Sasi
di Papua dan Maluku, Awiq-awiq di Lombok dan Ombo di
Buton adalah merupakan contoh prilaku masyarakat lokal tradisional dalam
memanfaatkan sumber daya laut yang dibimbing oleh kaidah-kaidah setempat
Permasalahan Terkait Pembangunan
Bervisi Maritim
Dekade ini di dunia, pembangunan maritim berada dalam posisi strategis seiring
dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari bagian Atlantik ke Asia Pasifik. Hal
ini terlihat 70 persen perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik.
Secara detail 75 persen produk dan komoditas yang diperdagangkan dikirim
melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar 1.300 triliun dolar AS per tahun.
Potensi yang sangat besar ini dimanfaatkan oleh Singapura dengan membangun
pelabuhan pusat pemindahan (transhipment) kapal-kapal perdagangan dunia.
Negara yang luasnya hanya 692.7 km2 dengan penduduk 4,16 juta jiwa
itu telah menjadi pusat jasa transportasi laut terbesar di dunia. Bahkan ekspor
barang dan komoditas dari Indonesia sebesar 70 persen melalui Singapura. Kapal
yang menghubungkan antar pulau sebagian besar berbendera Singapura khususnya
kapal yang memuat barang-barang terkait dengan berbagai macam industri.
Pembangunan maritim melibatkan berbagai sektor karena permasalahan yang
berkaitan dengan maritim sudah sedemikian kompleksnya. Beberapa hal yang
dapat menjadi hambatan pembangunan industri maritim nasional adalah sistem
kredit dimana bunga pinjaman untuk industri maritim sangat besar. Dalam
hal ini pemerintah dapat meniru program yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang
yang memberikan kemudahan kredit senilai 2 persen untuk industri maritim
terutama bagi nelayannya. Kondisi yang terjadi di Indonesia sangat bertolak
belakang dengan Jepang, dimana untuk KUR bagi nelayan juga masih memberatkan
dan implementasinya belum terlaksana dengan baik.
Kualitas dan kuantitas sumber daya
maritim di Indonesia selama ini patut dievaluasi kembali. Sumber daya manusia
yang handal dan kompeten diperlukan dalam pembangunan yang bervisi
maritim.Telah diketahui bersama bahwa Indonesia memiliki ZEE yang terbentang
seluas 2,7 juta km persegi dengan kekayaan laut didalamnya yang dapat menjadi
ekonomi negara apabila dimanfaatkan secara optimal. Memang dibutuhkan suatu
koordinasi bersama antara pemerintah, swasta dan masyarakat untuk bersama-sama
mengubah paradigma pembangunan SDM dengan konsep kebudayaan maritim, yaitu
melalui pengetahuan kebudayaan maritim yang berwawasan dunia dengan melakukan
adaptasi inovatif yang disesuaikan dengan budaya kita. Dalam pembangunan
maritim ini diperlukan kualitas SDM karena sebagai ujung tombak pembangunan.
Karena tidak hanya mengandalkan kemajuan IPTEK saja namun harus ada sumber daya
manusia yang mengelolanya dengan baik. Pembangunan kelauatan harus segera
diwujudkan karena masih banyak tersimpan potensi kelautan yang tersimpan, biodiversity
di Indonesia dapat menjadi sarana penelitian. Salah satu sebab dari rendahnya
SDM di tingkat maritim adalah rendahnya sumber daya pelaut yang dimiliki oleh
Indonesia. Krisis tenaga pelaut di Indonesia hingga kini masih menjadi masalah
serius. Jumlah lulusan pendidikan tersebut belum seimbang dengan kebutuhan di
bidang pelayaran. Di sektor angkutan laut, kondisi yang ada saat ini adalah
minimnya tenaga pelaut. Para lulusan pelaut ini di tingkat perwira hampir 75%
memilih bekerja di kapal asing atau berbendera asing daripada mengabdikan diri
sendiri di pelayaran nasional dengan alasan penghasilan yang diterima di kapal
asing lebih besar.
Menurut Data Kementrian Perhubungan
bahwa kebutuhan pelaut nasional mencapai 43.806 orang atau 8600 orang setiap
tahunnya yang terdiri dari 18.774 pelaut kelas perwira dan 25.032 pelaut kelas
dasar. Namun kondisi yang terjadi saat ini adalah baru mencapai 3000 orang/
tahun. Hal yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi supaya tidak
berlarut-larut adalah adanya penyesuaian gaji standar pelaut dan pendirian
sekolah pelaut yang akan direalisasikan. Pertumbuhan kapal niaga nasional
selama tahun 2005-2010 mencapai lebih dari 60 persen atau penambahan 3300 unit
kapal. Selama periode itu kebutuhan pelaut untuk mengisi kapal-kapal niaga
nasional bertambah hingga 55.000 orang. Rendahnya SDM pelaut ini disebabkan
karena pemerintah lebih berfokus pada sektor darat atau sektor agraris dan
tidak membangun berdasarkan keadaan geografis bangsa Indonesia. Selain itu
pemanfaatan kemampuan teknologi untuk maritim termasuk survey, research
dan sumber daya manusia di bidang maritim masih sangat kurang sehingga
menyebabkan Indonesia mengalami kesulitan dalam memanfaatkan sumber daya
lautnya. Sesuai dengan Konvensi di Manila Tahun 2010 tentang Amandement STCW
1995, dituntut untuk lebih meningkatkan kompetensi SDM, peningkatan perbaikan
dan penyempurnaan (continous improvement) pada sistem pendidikan, metode
ujian dan sertifikasinya sehingga dapat menghasilkan kompetensi sesuai dengan
tuntutan STCW. Untuk memenuhi kebutuhan akan SDM maritim dibutuhkan rencana
yang matang seperti penyempurnaan regulasi dan kelembagaan serta dibutuhkan
peran serius dari pemerintah termasuk pembinaan terhadap lembaga diklat dan
program kursus baik dalam dan luar negeri.
Potensi kelautan yang ada semestinya
didukung oleh infrastruktur maritim yang kuat seperti mempunyai pelabuhan
yang lengkap, sumber daya manusia yang handal dan mumpuni di bidang maritim
mulai untuk jasa pelayaran, barang, migas, kapal penangkap ikan sampai dengan
TNI AL. Jika dikelola dengan baik maka potensi kelautan Indonesia diperkirakan
dapat memperkuat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Untuk ekspansi perdagangan yang
tidak hanya domestik namun merambah internasional dibutuhkan adanya tambahan
armada dalam hal jumlah dan teknologi maritim.
Dari sisi pembangunan maritim,
Indonesia juga masih memiliki banyak hambatan. Sektor perhubungan laut masih
dikuasai oleh kapal niaga asing. Hal ini tidak lain disebabkan karena masih
kurangnya kapasitas kapal nasional. Namun tidak didukung dengan kebijakan yang
berpihak pada sektor maritim, seperti pembangunan kapal baru yang tidak mudah
karena sulitnya kredit dan tingginya kredit untuk usaha maritim. Data
menunjukkan untuk angkutan domestik, armada nasional baru mampu mengangkut
sekitar 60 persen. Sudah semestinya pemerintah mengalihkan orintasi
pemberdayaan kekayaan alam didarat ke pemberdayaan sumber daya laut. Untuk
mewujudkan hal tersebut, maka diperlukan adanya penataan dan penyusunan untuk
menggali kekayaan laut yang dimiliki oleh NKRI. Sebagai negara kepulauan,
sudah sewajarnya Indonesia mengembangkan industri perkapalan nasional yang
berpedoman pada Inpres Nomor 5 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa seluruh
angkutan laut dalam negeri harus diangkut oleh kapal berbendera Indonesia
tetapi tidak diikuti dengan kemampuan untuk memproduksi kapal. Industri
perkapalan merupakan industri padat karya dan padat modal sehingga untuk
pencapaiannya diperlukan dukungan pemerintah sebagai pembuat kebijakan dalam
hal ini terkait dengan masalah perbankan yang selama ini menjadi masih menjadi
suatu pokok permasalahan.
Pembangunan maritim juga tidak
terlepas dari besarnya sumber kekayaan laut Indonesia yang selama ini masih
belum diolah dengan sempurna. Bila melihat data yang ada potensi maritim
Indonesia dari sektor perikanan meliputi Perikanan Laut (Tuna/Cakalang, Udang,
Demersal, Pelagis Kecil, dan lainnya) sekitar 4.948.824 ton/tahun, dengan
taksiran nilai US$ 15.105.011.400, Mariculture (rumput laut, ikan, dan
kerang-kerangan serta Mutiara sebanyak 528.403 ton/tahun, dengan taksiran nilai
US$ 567.080.000, Perairan Umum 356.020 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$
1.068.060.000, Budidaya Tambak 1.000.000 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$
10.000.000.000, Budidaya Air Tawar 1.039,100 ton/tahun, dengan taksiran nilai
US$ 5.195.500.000, dan Potensi Bioteknologi Kelautan tiap tahun sebesar US$
40.000.000.000, secara total potensi Sumberdaya Perikanan Indonesia senilai US$
71.935.651.400 dan yang baru sempat digali sekitar US$ 17.620.302.800 atau 24,5
persen. Potensi tersebut belum termasuk hutan mangrove, terumbu karang serta
energi terbarukan serta jasa seperti transportasi, pariwisata maritim yang
memiliki peluang besar untuk dikembangkan. Nilai ekonomis yang didapat
dari sektor maritim sejatinya sangat tinggi dan dapat dipergunakan bagi
kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun, lagi-lagi yang terjadi di lapangan
tidak sesuai dengan perhitungan matematik. Pemerintah telah menerbitkan
Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2008 yang melarang ekspor langsung hasil
tangkapan perikanan. Peraturan ini secara otomatis mewajibkan perusahaan asing untuk
bermitra dengan perusahaan lokal dalam membangun industri pengolahan di
Indonesia. Implementasi peraturan ini menjadi masalah karena tidak berjalan
sesuai aturan. Hal ini tampak pada masih tingginya produksi ikan yang langsung
disetor kepada luar negeri tanpa melalui mekanisme yang ada. Sumber
permasalahan lainnya adalah penangkapan ikan secara illegal yang nilainya
ditaksir mencapai trilyunan rupiah. Hal ini dapat diatasi apabila Indonesia
memiliki kapal-kapal penangkap ikan yang berskala tinggi, namun saat ini yang
ada adalah jumlah kapal tersebut hanya mencapai 3 persen saja dari total
kebutuhan.
1.
Pengertian Masyarakat Pesisir
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, masyarakat berarti
sekumpulan manusia yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan – ikatan
tertentu, sedangkan pesisir diartikan sebagai tanah dasar berpasir ditepi laut.
lingkungan pesisir dan laut, misalnya nelayan, pembudidaya
ikan. Masyarakat pesisir adalah kelompok orang yang bermukim di wilayah
pesisir, mempunyai mata pencaharian dari sumber daya alam dan jasa-jasa
pedagang, pengelola ikan, pemilik atau pekerja perusahaan perhubungan laut,
pemilik atau pekerja pertambangan dan energi di wilayah pesisir, pemilik atau
pekerja industri maritim misalnya galangan kapal.
Kegiatan kemaritiman bangsa
Indonesia setua usia bangsa indonesia itu sendiri. Hal ini bisa dipahami karena
asal mula nenek moyang bangsa Indonesia dari daratan Asia. Mereka datang ke
kepulauan Indonesia secara bergelombang. Ada dua jalur yang mereka tempuh yaitu
jalan barat dan jalan timur. Jalur barat berawal dari Asia daratan kemudian
dengan melewati semenanjung Malaya, mereka menyeberang ke pulau Sumatera, Jawa,
Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara. Sementara itu kelompok yang lewat
jalur timur setelah meninggalkan daratan Asia mereka menuju Filipina, Sulawesi,
Maluku, Nusa Tenggara, Irian dan kepulauan di Samudera Pasifik.
Sudah barang tentu mereka datang
dari daratan Asia dengan cara berlayar karena tidak ada alternatif transportasi
lainnya. Dengan demikian kemampuan berlayar mengarungi lautan merupakan
ketrampilan inheren yang mereka dimiliki oleh nenk moyang bangsa Indonesia.
Dengan perahu-perahu yang sederhana mereka dapat mengarungi laut luas.
Batas-batas pelayaran nenek moyang bangsa Indonesia: utara: Pulau Formosa,
selatan: Pantai Australia, barat: Madagaskar, timur: kepulauan micronesia.
Hal ini bisa dipahami karena sejak
awal abad masehi bangsa indonesia sudah terlibat secara aktif dalam pelayaran
dan perdagangan internasional antara dunia Barat (Eropa) dengan dunia Timur
(Cina) yang melewati selat Malaka. Dalam hal ini bangsa Indonesia bukan menjadi
obyek aktivitas perdagangan itu tetapi telah mampu munjadi subyak yang
menentukan. Suatu hal yang bukan kebetulan jika berbagai daerah di Nusantara
memproduksi berbagai komoditi yang khas agar bisa ambil bagian aktif dalam
aktivitas pelayaran dan perdagangan itu. Bahkan pada jaman kerajaan Sriwijaya
dan Majapahit, selat Malaka yang merupakan pintu gerbang pelayaran dan
perdagangan dunia dapat dikuasai oleh bangsa Indonesia.
Pada masa selanjutnya, yaitu pada
jaman kerajaan-kerajaan Islam, ketika perdagangan rempah-rempah sangat ramai,
jalur-jalur perdagangan antar pulau di Indonesia, misalnya antara
Sumatera-Jawa, Jawa-Kalimantan, Jawa-Maluku, Jawa-Sulawesi, Sulawesi-Maluku,
Sulawesi-Nusa Tenggara, dan sebagainya menjadi bagian yang inheren dalam
konteks perdagangan internasional. Bahkan negeri Cina bukan tujuan utama
perdagangan internasional, tetapi Indonesia. Hal ini berkembang pesat lagi
ketika orang-orang Eropa mulai datang sendiri ke Indonesia untuk mencari
komoditi rempah-rempah. Indonesia mampu bertindak sebagai besi sembrani yang
menarik para pedagang dari seluruh penjuru dunia. Sebagai konsekuensinya jalur
perdagangan dunia yang menuju ke Indonesia bahkan hanya rute tradisional lewat
selat Malaka saja tetapi juga rute yang mengelilingi benua Afrika, untuk
selanjutnya menyeberangi Samudera Hindia langsung menuju Indonesia. Di samping
itu bangsa Spanyol dengan gigihnya juga berusaha mencapai Indonesia dengan
menyeberangi Atlantik dan Pasifik.
Pertama, masyarakat pantai tersebut
menggantungkan mataa pencahariannya dari eksploitasi laut. Artinya bahwa mereka
hidup dari sumber daya dan alam ynag masih berlimpah di dekat sekitar pantai.
Dalam perkembangannya, hasil sumber daya laut yang antara lain dari hasil ikan,
kerang dan sebagaainya. Kedua, ciri khas yang menonjol masyarakat
maritim adalah sifat keterbukaan dalam menerima unsur-unsur dari luar. Sebagai
contoh berkembangnya agama Islam pada abad ke-15 dan ke-16 di Indonesia atau
Nusantara, adalah melalui daerah-daerah atau kota-kota pelabuhan seperti
Samudra Pasai, Aceh, Malaka, Demak, Gresik, Tuban dan lain-lain. Ketiga,
dalam hal religi yang berorientasi kepada kepercayaan adanya dunia roh dan
lebih khusus lagi penghormatan kepada roh nenek moyang mereka. Pada masyarakat
pantai, terutama masyarakat nelayan atau pelaut, upacara-upacara semacam itu
juga ditujukan kepada tokoh-tokoh mistis penjaga laut, seperti Ratu Pantai
Selatan dan Pantai Utara, agar mereka diberi keselamatan dalam menjalankan
pekerjaan sebagai nelayan atau pelaut. Keempat, ciri masyarakat penduduk
pantai suka melakukan hubungan interaksional dengan penduduk pantai lainnya
maupun terhadap masyarakat pedalaman. Kalau masyarakat pantai dengan masyarakat
pantai lainnya yaitu dalam bentuk perdagangan dan pelayaran. Sedangkan dengan
masyarakat pedalaman yaitu dengan tukar-menukar hasil laut dengan bahan makanan
pokok seperti beras.
PENUTUP
Dari
pembahasan yang telah diuraikan secara jelas dan panjang berkenaan dengan
masalah masyarakat laut dan sikap kelompok sosial dan negara terhadap laut,
maka dapat diambil kesimpulan atau garis diantaranya :
1.
Masyarakat pesisir adalah kelompok orang yang bermukim di wilayah pesisir,
mempunyai mata pencaharian dari sumber daya alam dan jasa-jasa pedagang,
pengelola ikan, pemilik atau pekerja perusahaan perhubungan laut, pemilik atau
pekerja pertambangan dan energi di wilayah pesisir, pemilik atau pekerja
industri maritim misalnya galangan kapal.
2.
Karakteristik masyarakat pesisir mempunyai bentuk yang khas dalam hal
kepercayaan atau religi, mata pencaharian (berhubungan dengan laut), bersifat
terbuka yakni dengan melakukan hubungan perdangangan dengan pulau lain dan
masyarakat pedalaman, mempunyai ketrampilan dalam hal teknik perkapalan serta
navigasi.
3.
Sebagian masyarakat Indonesia masih bersikap memandang sebelah mata terhadap
laut dalam benak mereka, mereka lebih mengidentifikasikan negaranya sebagai
negara agraris bukan negara maritm yaitu negara yang sebagaian besar kehidupan
rakyatnya menggantungkan diri pada bidang pertanian. Mereka mengolah tanah
pertanian, hidup di desa-desa, memiliki kegotong-royongan yang kuat dan
sebagainya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pada saat ini gambaran
massyarakat Indonesia sebagai masyarakat maritim, bangsa pelaut, bukan
merupakan gambaran umum.
4.
Menyadari betapa pentingnya bidang maritim untuk memperkuat integrasi nasional,
pemerintah berusaha untuk mewujudkan kesatuan wilayah secara utuh. Pada tahun
1957, pemerintah mengeluarkan Deklarasi Djuanda dengan menawarkan konsep Negara
Kepulauan (Archipelagic State) dengan batas laut teritorial sejauh 12 mil.
Meskipun tuntutan ini ditolak oleh PBB(Perserikatan Bangsa-Bangsa), pemerintah
Indonesia terus berupaya di berbagai forum internasional. Pada tahun 1982,
International Conference on Sea Law yang diselenggarakaan di Caracas
meratifikasi konsep Indonesia mengenai Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) inilah
wilayah teritorial Indonesia menjadi utuh, baik meliputi wilayah darat maupun
laut
Daftar Pustaka
[1] Poesponegoro & Notosusanto. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka (hal 5)
[2] Poesponegoro & Notosusanto. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka (hal 52)
[3] Singgih Tri Sulistiyono. 2004. Pengantar
Sejarah Maritim Indonesia. Jakarta. DIKTI Departemen Pendidikan Nasional
(hal 144-146)
[4] Singgih Tri Sulistiyono. 2004. Pengantar
Sejarah Maritim Indonesia. Jakarta. DIKTI Departemen Pendidikan Nasional
(hal 146)
[6] Poelinggomang, Edward
Lamberthus . 2002. Makassar abad XIX: studi tentang kebijakan
perdagangan maritim. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia (hal 17-19)
[7] Poelinggomang, Edward
Lamberthus . 2002. Makassar abad XIX: studi tentang kebijakan
perdagangan maritim. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia (hal 22)
[8] D.H Burger; Prajudi Atmosudirdjo.
1957. Sedjarah ekonomis sosiologis Indonesia. Jakarta. J.B Wolters (hal
59-62)
9 Poelinggomang, Edward
Lamberthus . 2002. Makassar abad XIX: studi tentang kebijakan
perdagangan maritim. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia (hal 48-49)
10 Asnan, Gusti. 2007. Dunia Maritim
Pantai Barat Sumatera. Jakarta : Ombak (hal 100-102)
[11] Lapian, Adrian Bernard. 1987. Orang
laut - bajak laut - raja laut di kawasan laut Sulawesi pada abad xix. Yogyakarta.
Universitas Gadjah Mada (hal 435-437)
Komentar
Posting Komentar